Mengapa Kader Non-Parpol Berjaya?



Oleh: Febrianto Adi Saputro, Zuli Istiqomah

Hasil hitung cepat pemilihan kepala daerah serentak menunjukkan keterpilihan kader partai politik (parpol) belum maksimal. Berdasarkan data yang dihimpun, dalam pemilihan gubernur-wakil gubernur di 17 provinsi, masih banyak figur yang berasal dari luar parpol.

Perinciannya, dua gubernur, yaitu Ridwal Kamil (profesional) di Jawa Barat dan Khofifah Indar Parawansa (ormas Islam) di Jawa Timur, serta enam wakil gubernur, salah satunya Emil Dardak (profesional), juga di Jawa Timur.

Jika diperinci, dari seluruh pemilihan gubernur, tercatat sembilan cagub merupakan kader parpol. Sisanya alias delapan cagub merupakan kader nonparpol.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai, keberadaan calon kepala daerah (cakada) nonkader parpol yang unggul menandakan kegagalan kaderisasi. "Sehingga, partai berpikir pragmatis menggunakan jalan pintas 'belanja' figur kenamaan untuk diusung," katanya di Jakarta, kemarin.

Menurut Adi, banyak orang yang dianggap memiliki kapasitas dan kompetensi. Namun, mereka takut masuk parpol karena karakter oligarkis parpol yang dinilai masih menggurita dan hanya dianggap sebagai bumper.

"Akibatnya, parpol isinya hanya didominasi oleh sosok yang itu-itu saja tanpa peremajaan," ujar Adi.

Saat ini parpol telah menjelma sebagai personifikasi diri ketua umum partai masing-masing. Hal itu berdampak pada anggapan setiap kebijakan dan program parpol lebih mencerminkan kepentingan sang ketua umum, bukan kepentingan umum publik.

Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Firman Manan menyatakan, sistem kaderisasi parpol di Indonesia tidak tertata dengan baik. "Memang itu salah satu problem klasik partai soal rekrutmen, kaderisasi, dan seleksi kandidat-kandidat yang akan dicalonkan," kata Firman, kemarin.

Ia mengungkapkan, sistem kaderisasi bisa dilihat dari parpol yang membuka rekrutmen calon-calon anggota legislatif yang akan berlaga dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Padahal, caleg yang maju seharusnya merupakan kader parpol sendiri.

Parpol, kata dia, seolah hanya ingin mengamankan posisi di sejumlah kursi kepemimpinan sehingga mengesampingkan proses kaderisasi yang merupakan bagian penting dalam sebuah parpol. "Ini jadi PR (pekerjaan rumah) besar," ujar Firman.

Jika parpol tidak menata proses kaderisasi, lama kelamaan partai akan kehilangan suara di masyarakat. Parpol kemudian akan kesulitan mengusung calon dalam setiap pilkada ataupun pileg, bahkan pilpres.

Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Suko Widodo, menyatakan, 10 tahun terakhir, parpol mengalami penurunan citra. Itu tergambar dalam berbagai pilkada, termasuk pilkada serentak 2018.

Penurunan kepercayaan publik terhadap parpol tak lain lantaran banyak kader parpol terjerat korupsi. Oleh karena itu, menurut Suko, parpol harus segera melakukan komunikasi transparan dan persuasif kepada publik sehingga citra kembali membaik dan kaderisasi bisa kembali berjalan lancar.

Lebih lanjut, Suko menilai, masyarakat telah menyadari, sekalipun pemimpin terpilih bukan kader parpol murni, tetap akan ada pengaruh partai. Namun, mereka tetap memercayai pemimpin yang dipilih lantaran melihat praktik langsung pada pilkada serentak.

Peran parpol

Pilkada serentak 2018 berlangsung pada 27 Juni 2018. Sebanyak 171 daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota menggelar pemungutan suara. Akan tetapi, dua daerah di Papua, yaitu Nduga dan Paniai, sampai sekarang belum melaksanakan pesta demokrasi itu.

Berdasarkan hasil hitung cepat, tiga kandidat yang diusung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk sementara unggul di tiga provinsi di Pulau Jawa. Wakil Ketua Umum PPP Arwani Thomafi menilai, kemenangan memiliki makna penting terkait keberadaan calon dari latar belakang santri.

"Selama ini ada sebagian yang menuding meredupnya eksistensi politik santri. Nah, ini terbantahkan dengan sejumlah hasil pilkada. Banyak tokoh dari kalangan santri yang terpilih," ujar Arwani, Jumat (29/6).

Menurut dia, hasil pilkada serentak 2018 tentu memengaruhi Pemilihan Presiden 2019. Ketua Umum PPP Romahurmuziy menjadi salah satu kandidat kuat untuk posisi calon wakil presiden bagi Joko Widodo.

Ketua DPP PAN Yandri Susanto menilai, keberadaan parpol tetap penting meskipun kandidat yang diusung bukan kader parpol. Ia mengklaim, kemenangan pasangan Khofifah dan Emil dalam pemilihan gubernur Jawa Timur tak lepas dari andil mesin politik PAN.

Yandri juga menyebut, hampir separuh kader PAN memenangi pemilihan bupati dan wali kota di sejumlah daerah. "Di daerah saya di Kota Serang, kita bisa menumbangkan dinasti. Itu artinya luar biasa karena dinasti bisa kita kalahkan," ujarnya.

Ia menambahkan, kemenangan di sejumlah pilkada tentu meningkatkan kepercayaan diri para kader untuk menatap pesta demokrasi 2019 nanti, tidak hanya untuk pemilihan legislatif, tetapi juga pemilihan presiden.

(ali mansur, Pengolah: muhammad iqbal).

Sumber : Republika.co.id

Belum ada Komentar untuk "Mengapa Kader Non-Parpol Berjaya?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel