Jejak Soeharto dan Masjid Zagreb Kala Kroasia di Piala Dunia
Minggu, 15 Juli 2018
Tambah Komentar
Oleh: Muhammad Subarkah,Jurnalis Republika
Udara akhir musim semi yang suam-suam kuku menyambut ketika tiba di ibu kota Kroasia, Zagreb. Yedin teman saya asal Turki dan Mehmet orang Belanda kelahiran Turki dengan petunjuk rute melalui waze membawa bus yang disopiri orang Bulgaria ke tengah kota.
''Ke masjid di Islamic center Zagreb saja,'' kata Yedin. Yang lainnya pun sepakat. Bus kemudian mengarah ke sana.
Kota Zagreb sama dengan gaya kota Eropa lainnya, rapi dan teratur. Anak mudanya terlihat bahagia dan berpakaian indah. Pengemis apalagi pemulung dan gerobaknya tak terlihat di jalanan. Ketika berkunjung ke pantai, suasana indah. Banyak perahu yacht dan orang berjemur.''Orang kaya Eropa rata-rata yang punya yacht. Mereka punya rumah mewah di sini untuk liburan,'' kata Mehmet.
Tak hanya pantai dan kota yang rapi, pelabuhan ferinya pun nyaman. Memang tak ada banyak orang. Tapi kesan teraturnya dan bersih terlihat. Suasana jauh berbeda dengan pelabuhan penyeberangan di Merak yang acak adut.
Kenangan itu kembali berkelebat ketika melihat team sepakbola Kroasia mampu masuk Final piala dunia di Rusia. Batin saya pun tak terlalu heran. Negara itu memang terlihat gila olah raga. Berulangkali tampak banyak lapangan bola dan juga tenis di sepanjang pinggir jalan. Jadi wajar kalau pemain bola dan petenis asal Kroatia banyak yang bertengger di lapisan atas kompetisi petenis profesional dunia. Pemain bolanya beterbaran ke berbagai klub top semacam Real Madrid dan Barcelona.
Bukti ini kian nyata ketika masuk ke dalam masjid Zagreb. Suasana teduh dengan kubahnya yang unik serta bisa bergeser buka dan tutup untuk mencari lokasi sinar matahari. Bangunannya luas. Tak hanya untuk shalat, masjid peninggalan imperium Ottoman yang direnovasi pada tahun 1997 tetap apik terjaga serta mempunyai banyak fasilitas. Ada lapangan bola, lapangan tenis, ruangan pertemuan, dan restoran. Di bagian bawah ada seperangkat ruangan yang terdapat meja pingpong. Anak-anak muda kala itu ramai bermain bola pingpong mengelilingi meja itu.
Fasilitas restoran yang berada di ruang pokok sebelah atas. Di sana para keluarga Muslim Kroasia lazim bercengkerama dengan bersantap bersama. Mereka menyantap masakan lokal dan hidangan bergaya ala Turki. Dari tempat itu mereka melihat lokasi masjid yang luas seperti layaknya padang sabana atau kebun kentang yang ada di bagian belakang. Tak ada kesan kumuh atau sembarangan. Semua bahagia. Ruangan restoran selalu riuh penuh canda tawa tawa bersama.
Sebagai Islamic center, masjid itu berfungsi sebagai pusat kajian sekaligus tempat ibadah, sarana sosial, bahkan museum. Mereka mencetak berbagai buku berisi sejarah dan ritual ibadah yang dijual untuk umum. Khusus edisi dalam bahasa Inggris mereka jual kepada orang asing dengan harga 500 dolar AS.
Kondisi ruangan masjid sangat rapi dan bersih. Suara adzan hanya terdengar dalam batas yang tidak terlalu jauh. Pengeras suara dalam masjid yang dipakai setiap kali terdengar lantunan adzan.
Adzan mengalun dengan gaya Turki yang khas. Udara akhir musim semi yang sejuk kala itu membawa suasana yang syahdu. Sebagian jamaah ada yang memakai turban, jubah atau topi putih ala Turki. Ada yang berjenggot dan berwajah mulus. Namun sebagian besar yang lain berpakaian biasa saja, memakai celana ala orang Eropa. Tak terlihat debat soal pakaian atau asesoris tubuh, seperti yang sekarang banyak diributkan di Indonesia.
Kroasia bagi Indonesia memang negeri yang jauh. Bila ke sana harus transit di Turki, Jerman, atau Italia. Tapi dijamin, Kroasia tak seruwet Indonesia atau Italia, yang dijalan sebelum masuk Venezia misalnya, masih ditemuai ada pungli ketika bus ingin masuk ke sana."Italia memang selalu ruwet. Ini biasa,'' kata Mehmet sembari tertawa ngakak.
Ketika masuk ke Kroasia, di perbatasan semua paspor diperiksa. Prosesnya tak lama. Bus hanya berhenti di sebuah tempat cek imigrasi di gerbang tol. Mobil lain, umum atau kendaraan pribadi, pun begitu. Semuanya antre. Tak terlihat orang menyerobot barisan.
*****
Namun di halaman masjid yang luas itu tetap terlihat sisa kepiluan perang setelah negara kesatuan yang beridelogi sosialis komunis, Yugoslavia, bangkrut serta pecah berkeping. Di halaman bagian sebelah kanan, berdiri sebuah monumen yang berisi nama-nama warga Muslim yang terbunuh semasa perang pada 1990-an itu. Nama-nama para korban terpahat rapi dalam sebuah tugu. Terindikasi banyak orang kerap pergi ke monumen itu. Rangkaian karangan bunga selalu ada dan tampak baru pertanda bila berbagai orang rutin mengunjunginya.
Memang dalam tim sepakbola di putaran Final Piada dunia 2018 di Rusia, anggota tim Kroasia tak ada yang Muslim. Tapi jejak mereka yang berasal dari anak-anak bekas konflik terlihat. Mereka menjadi finalis --bahkan mungkin juara dunia -- adalah pencapaian yang luar biasa. Ini menjadi bukti perang dan negara terpecah tak meruntukan mental warganya. Anak muda Kroasia itu berhasil melewait derita itu dengan gemilang.
Salah satu jejaknya adalah pada sosok sang kapten, Luka Modric. Ia adalah anak pasangan asal Kroasia, Stipe dan Radojka, yang setiap hari bekerja berjam-jam di pabrik rajut. Pada perang itu, Modric dan keluarganya sempat mengungsi untuk mencari perlindungan di Hotel Iz di kota Zadar.
Celakanya, dalam pengungsian keluarga Modric sempat terpojok oleh sekelompok orang Serbia yang secara brutal sibuk mengeksekusi lima penduduk lokal. Menyaksikan kejadian buruk ini membuat hati dan mental kala itu Modric hancur lebur.
Berbagai laman media internasional mengisahkan kenangan buruk Modric semasa kecilnya. Kala itu dia mengaku akrab dengan bunyi granat dan rentetan tembakan peluru, serta ancaman maut kala menginjak ranjau darat setiap bepergian. Dia juga sempat hidup tanpa listrik dan pasokan air bersih yang cukup. Uniknya, Modric cukup lama menyimpan cerita pilu ini dan baru dibuka ketika dia menandatangani kontrak dengan klub sepakbola Sprus pada tahun 2008.
"Ketika perang dimulai kami menjadi pengungsi dan itu adalah waktu yang sangat sulit,'' kata Modric ketika mengisahkan masa kecilnya.
Dan sama seperti anak muda Kroasia lainnya, menjadi olahragawan top memang menjadi impian. Mereka rela merantau ke tempat yang jauh. Kisah ini sama dengan cerita para perantau asal Albania yang banyak menjadi punggawa tim Swedia. Mereka layaknya orang kulit hitam di Amerika yang selalu bermimpi menjadi jagoan olahraga untuk mengubah nasib hidupnya.
Nah, orang-orang dari Kroasia dan pecahan Yugoslavia pun seperti itu Mereka banyak merantau ke negara Eropa Barat yang lebih makmur dengan kemampuan berolahraga. Mereka yakin, bila mampu menjadi olahragawan top, mereka pasti akan lepas dari kemiskinan dan beban hidup masa lalu yang suram.
******
Bagi Indonesia sebenarnya pun punya kenangan serta emosi ketika terjadi perang di wilayah Balkan itu pecah. Masih ingat kunjungan Presiden Soeharto ke Sarajevo ketika kota itu dikepung Serbia?
Nah, Soeharto tetap nekad pergi ke sana meski dua hari sebelumnya pesawat terbang utusan khusus PBB asal Jepang ditembak jatuh. Soeharto datang ke ibu kota Bosnia setelah bertemu dengan Presiden Kroasia, Franjo Tudjman, di Zagreb pada awal bulan Maret tahun 1995.
Komandan Paspampres kala itu, Sjafri Samsoedin, menjadi saksi ganasnya perang itu, sekaligus keberanian Soeharto berangkat ke medan perang. Ketika hendak mendarat di bandara Sarajevo, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongan Presiden Soeharto.
Saat konflik itu, lapangan terbang Srajevo dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia.
"Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah," beber Sjafrie seperti kutip dalam berbagai kisah mengenai pendaratan Pak Harto di Bosnia dan Balkan semasa perang.
Nah mengingat semua itu, sekaligus mengingat masjid yang indah di Zagreb, menjadi mahfum kiranya bila Krosia mampu merasakan ajang final piala dunia. Bahkan dahulu meski baru saja usai perang saudara yang berdarah-darah, pada tahun 1998, Kroasia bisa menjejak sampai putaran semifinal piala dunia. Bangsa Kroasia yang semenjak zaman dahulu kala terkenal dengan kekuatan fisiknya -- dulu kala dikenal sebagai rumpun bangsa Slavia (kata slave/budak diambil dari kata Slavia), itu telah membuktikan kekuatan mental dan dirinya.
Nah, bila dalam final bertemu tim Prancis, bagi mereka jelas bukan hal yang asing. Bahkan bila di tim lawannya itu banyak pemain yang Muslim, mereka juga bukan orang baru dikenal. Ingat dahulu kekuasaan Otoman juga sampai ke perbatasan Prancis di bagian selatan. Dinasti Fatimiah di Mesir yang membangun Al Azhar memakai orang dari Slavia sebagai anggota legiun tentaranya.
''Ingat ya dari Balkan sampai Beograd dan Prancis selatan dahulu banyak masjid yang berdiri. Bangunan itu baru diruntuhkan setelah Otoman jatuh pada tahun 1923. Seiring itu komunitas Muslim di sepanjang jalur itu pun ikut menyusut,'' kata Edin Hidalick, kembali
Jadi jejak orang Kroasia jago main bola dan suka olah raga tanda-tandanya salah satunya sudah terlihat pada lengkapnya fasilitas di Masjid Zagreb itu. Beda dengan Indonesia di mana masjid tak ada yang punya lapangan bola, di Zagreb dan negara Balkan hal itu ternyata lazim. Alhasil kepiawaian bermain bola ternyata tak ada yang datang dari langit...! Gooooool....!
Sumber : Republika.co.id
Belum ada Komentar untuk "Jejak Soeharto dan Masjid Zagreb Kala Kroasia di Piala Dunia"
Posting Komentar