Puasa Lahir Batin

Kesempurnaan puasa ialah kemampuan menahan diri.



Mungkin selama ini kita hanya menjalankan puasa lahiriah, tetapi belum puasa batiniah. Puasa lahiriah sebagaimana dijelaskan kitab-kitab berbagai mazhab fikih ialah menahan diri untuk tidak melakukan 10 hal. Jika kesepuluh hal itu dilakukan, puasa dinyatakan batal dan di antaranya mengharuskan adanya penggantian (qadha), bahkan disertai dengan hukuman tambahan (kafarat), yaitu memilih salah satu di antara sanksi berupa pembebasan seorang budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan sebanyak enam puluh orang fakir miskin.

Kesepuluh perkara yang mengharuskan qadha tanpa kafarat, yaitu memberanikan diri untuk:Pertama, tidak makan. Kedua, tidak minum. Ketiga, berhubungan suami istri (al-watha') saat waktu puasa. Kelima, menyuntikkan nutrisi ke dalam tubuh untuk menghilangkan rasa lapar dan atau dahaga. Kelima, keluarnya darah haid bagi perempuan.

Keenam, melakukan onani yang menyebabkan keluarnya cairan. Ketujuh, memasukkan air ke dalam kerongkongan untuk menyegarkan diri dari rasa haus (bukan berkumur-kumur saat wudhu atau bersikat gigi). Kedelapan, tetap makan, minum, atau berhubungan suami istri dengan asumsi subjektif bahwa fajar belum terbit, meskipun orang lain meyakinkannya kalau fajar sudah terbit atau ia sendiri mampu membukti k annya dengan berusaha menyaksikan fakta bahwa fajar sudah terbit.

Kesembilan, menyengajakan tidur setelah bangun sekali dan belum mandi junub hingga dia bangun setelah fajar terbit. Kesepuluh, memasukkan ke dalam mulut sesuatu yang bisa memberikan kepuasan tersendiri, seperti memasukkan bubuk atau tepung yang tebal, dan atau asap rokok ke dalam mulut.

Setelah menunaikan puasa yang bersifat lahiriah di atas, kalangan ulama sufi menyerukan untuk meneruskan puasa yang bersifat batin. Yang dimaksud puasa batin oleh mereka, antara lain, menahan potensi pikiran untuk memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat, khususnya pikiran-pikiran jorok, pikiran yang bisa menjadi kendaraan iblis untuk mengajak seorang hamba menjauhi Tuhan. Para teolog menganggap potensi pikiran itu bersumber dari Allah SWT Yang Mahasuci sehingga tidak sepantasnya digunakan untuk memikirkan segala hal-hal yang bertentangan dengan citra positif akal pikiran itu.


Dengan sengaja menggunakan pikiran untuk memikirkan hal-hal yang bercitra negatif, bisa merusak makna puasa. Puasa batiniah diilustrasikan dengan menahan diri untuk melakukan apa yang bertentangan atau tidak sejalan dengan keridhaan Allah SWT. Yang dianggap sesuatu yang tidak sejalan dengan keridhaan Allah SWT, bukan hanya dalam bentuk pelanggaran fisik sebagaimana sering digambarkan para ulama fikih, melainkan termasuk juga hal-hal yang bersifat nonfisik, seperti pikiran dan kecenderungan suara-suara hati.

Karena bagi Allah SWT, baik lahir maupun batin sama saja.Kedua-duanya tidak ada yang tersembunyi.Bahkan, para malaikat-Nya pun dapat mendeteksinya, sebagaimana disebutkan dalam ayat: Ketika dua malaikat mencatat amalannya, yang satu berada di kanan dan yang lainya berada di kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS Q?f [50]: 17-18).

Di samping pengendalian pikiran dan hati, juga yang amat penting bentuk konkretnya ialah menahan mulut untuk tidak berbicara, apalagi jika pembicaraan itu menjurus kepada ajakan kepada diri sendiri atau orang lain untuk berpaling meninggalkan kedekatan diri dengan Tuhan.Kita bisa menyimak hikmah mengapa Allah tidak memerintahkan Maryam untuk berpuasa kecuali menahan diri untuk tidak berbicara sebagaimana dalam firman-Nya:Maka katakanlah, Sesungguhnya aku bernazar untuk berpuasa karena Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang pun pada hari ini. (QS Maryam/19:26).

Puasa bicara atau diam salah satu resep untuk meraih ketenangan batin yang pada akhirnya menjanjikan ketakwaan sebagaimana tujuan puasa.Resep ini diajarkan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Zakaria. Saat itu, ia dan istrinya tak pernah berhenti berdoa untuk memiliki anak, meskipun keduanya sudah berusia lanjut.

Ia bernazar sekiranya bisa dikaruniai anak, maka ia akan berpuasa biara selama tiga hari, sebagaimana disebutkan dalam Alquran: Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda". Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat." (QS Maryam/19:10). Akhirnya, doanya dikabulkan dan Nabi Zakariya pun menunaikan nazarnya.

Puasa bicara ternyata bukan pekerjaan mudah bagi orang normal. Allah SWT pun mengingatkan agar manusia hati-hati soal bicara, sebagaimana firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (QS al-Ahzab [33]: 70).

Dalam hadis Nabi disebutkan:Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, maka hendaklah ia mengatakan yang benar atau lebih baik diam.Nabi juga mengingatkan kita:Sesungguhnya dosa yang paling banyak dilakukan oleh anak cucu Adam adalah pada lidahnya.Musibah itu terwakili melalui ucapan. Sesungguhnya dosa yang paling banyak dilakukan oleh anak cucu Adam adalah pada lidahnya. Barang siapa yang banyak bicara, banyak juga kekeliruannya. Barang siapa yang banyak kekeliruannya, banyak juga dosanya. Barang siapa yang banyak dosanya, maka nerakalah yang paling tepat tempatnya.

Kalangan sufi pernah mengatakan, diam adalah keselamatan dan itulah yang esensial. Orang-orang masih memperselisihkan, mana yang lebih utama antara diam dan bicara. Yang lebih tepat sesungguhnya ialah masing- masing antara diam dan bicara memiliki keutamaan dibandingkan dengan yang lain tergantung pada situasi dan kondisinya. Diam lebih utama dilakukan pada situasi dan kondisi tertentu, dan pada situasi lain, justru bicara lebih utama.Namun, tidak selamanya diam itu baik.

Adakalanya seseorang harus dan wajib biara, terutama menyuarakan kebenaran, sebagaimana sabda Nabi:Katakanlah kebenaran itu meskipun pahit. Basyar al-Hafi pernah mengatakan: Jika suatu pembicaraan membuatmu terkagum-kagum, maka sebaiknya anda diam saja. Dan jika diam justru membuatmu terkagum-kagum, maka sebaiknya Anda angkat bicara.

Selain puasa bicara juga adalah puasa untuk melihat, mencium, mendengar, dan merasa segala sesuatu yang bertentangan atau tidak sejalan dengan keridhaan Allah SWT.Dengan demikian, kesempurnaan puasa kita ialah kemampuan kita untuk menahan diri untuk tidak melakukan penanggaran yang bersifat lahiriah dan batiniah sebagaimana disebutkan di atas.

Tentu, hal tersebut belum cukup.Karena, seruan Allah SWT bukan hanya memerintahkan diri untuk menahan diri di dalam berpuasa, tetapi juga diserukan mengoptimal amal-amal kebajikan. Baik amal yang bersifat fisik, seperti ibadah- ibadah mahdhah yang ditentukan ketentuan-ketentuan fisiknya, maupun ibadah-ibadah lain yang bersifat rohani, seperti mujahadah, riyadhah, takhannus, tafakur, dan tadzakkur. Semoga puasa dan amaliah Ramadhan kita kali ini lebih berkualitas daripada sebelumnya. Allah a'lam.

OLEH PROF KH NASARUDDIN UMAR (republika.co.id)

Belum ada Komentar untuk "Puasa Lahir Batin"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel